Skip to main content

Perjalanan Solo Backpacker ke Way Kambas Lampung, Lengkap!


Hari sudah menunjukkan pukul 18.00 tapi saya masih meeting di kantor pusat yang terletak di jalan Jend. Gatot Subroto. Pemandangan dari lantai 10 jalanan sudah sangat dipadati kendaraan, maklum lah besoknya adalah long weekend hari raya waisak ditambah cuti bersama 23 - 24 Mei 2024, disambung dengan libur sabtu dan minggu. Tak heran semua orang rela berdesakan dijalan untuk pulang ke rumah. Termasuk saya, ingin segera pergi liburan yang sudah direncanakan jauh hari.

Setelah mengganti batik dengan kaos national geographic andalan saya, ojek online pun tiba pukul 19.30 WIB. Tujuan saya adalah Plaza Slipi Jaya, tempat persinggahan bus primajasa menuju pelabuhan Merak, Banten. Karena saya posisinya di Jakarta Pusat maka agak mundur kalau harus ke Kampung Rambutan, setelah riset dari mbah google ketemulah persinggahan bus yaitu di Slipi Jaya.

Berusaha tetap fokus walau pikiran sudah di Lampung

Tak ada 10 menit saya nunggu, bus pun tiba. Pas saya masuk kursinya sudah hampir penuh dan terancam berdiri. Inilah dilema. Kalau saya naik ditengah perjalanan pasti bus penuh karena banyak penumpang juga yang naik dari terminal atau di perjalanan. Untungnya saya masih dapat rejeki satu kursi di belakang. Alhamdulilah.

Kernet bus jalan kearah saya dan sudah bisa ditebak, pasti minta ongkos. Saya pun memberi 50 ribu dan sopirnya berkata sambil tersenyum "Masih kembalian nih!" seraya memberikan karcis dan uang 2 ribu rupiah. Ongkosnya cuma 48 ribu saja. Bus Primajasa terus melaju pelan ditengah kemacetan, ada penumpang turun, ada juga yang naik.

Jam 22.30 WIB bus tiba di pelabuhan Merak, dan saya disambut hujan deras. Karena belum pengalaman saya langsung saja menuju dermaga mengikuti orang-orang berjalan sampai tiba di depan loket mesin tiket. Disana saya sebenarnya tinggal scan saja karena sudah membeli tiket kapal secara online seharga 22 ribu rupiah. Dibantu oleh petugas, tiket fisik pun keluar dari mesin dengan mulus. Saya lanjut melewati entrance gate dan menunggu kapal yang sedang bongkar sandar.

Setelah menunggu 30 menit akhirnya jembatan naik kapal diturunkan dan para penumpang termasuk saya bisa langsung masuk. Saya mengambil posisi di ruang lesehan yang ternyata harus bayar lagi 15 ribu, ya gapapa lah soalnya hari ini cukup melelahkan meeting dari pagi sampe malem dan saatnya tidur. 

Saya kira perjalanan akan lama dan baru mata merem sedikit, klakson kapal udah bunyi.. TEEEETTTT.. disambung dengan pengumuman bahwa kapal akan segera sandar di Bakauheni jadi semua penumpang bersiap-siap turun. Sayapun demikian segera berkemas, selimut, bantal tiup, jaket, dan tak lupa memakai sepatu untuk segera turun.

Pelabuhan Bakauheni sekarang sudah bersolek lebih cantik dibanding terakhir saya kesini yaitu tahun 2017. Fasilitas dan bangunannya mirip bandara udara dan sangat mencerminkan modernisasi transportasi. Karena saya tiba pukul 3 dinihari, tentunya sepi sekali dan baru ramai setelah saya menuju terminal. Disana banyak sopir travel yang menawarkan jasa transportasinya menuju Bandar Lampung dan tujuan lain, saya tidak naik itu karena terlalu mahal dan terlalu pagi berangkatnya. Saya mau istirahat dulu di Bakauheni.

Pilihan saya jatuhkan pada bus Damri rute Bakauheni Rajabasa via Timur, nah ini dia bus murah meriah yang melewati jalur Way Kambas. Saya beli tiket di loket sana seharga 45 ribu. Nah kalau dibandingkan naik travel bisa 75-100 per orang! Plus kepagian, kalau saya nyampe terlalu pagi di Way Kambas, percuma disana gak ada ojek yang bisa disewa untuk masuk kawasan. Idealnya berangkat jam 5 naik Damri, perjalanan 2 jam dan tiba pukul 7 pagi di matematika saya.

Sepanjang perjalanan saya tidur sampai akhirnya terbangun karena laju bus terlalu kencang dan berkelok, plus tetesan air hujan yang bocor mengenai jidat saya. Saya tanya pada rekan sebelah, Way Jepara masih jauh. Nah Way Jepara adalah titik saya harus turun, tepatnya di pasar Tridatu atau jika mau lebih spesifik di gerbang masuk Way Kambas.

"Jepara habis.. Way Jepara habis" teriak kernet bus Damri. Sayapun teriak "Adaa pak!" teriakan saya keras karena posisi dibelakang hingga penumpang lain kaget. Sebenarnya ndak usah keras karena hampir seperempat penumpang juga turun disana. Hehehe. Saya merapat ke warung grosir untuk menunggu jemputan dari seorang guide lokal bernama Bli Toni Wayan yang akan segera tiba.

Bli Toni adalah kelahiran asli Lampung dan kakek neneknya berasal dari Bali. Jadi tahun 60-an terjadi program transmigrasi dari Bali ke Lampung. Setibanya Bli Toni saya diajak ke rumahnya untuk mandi dan istirahat sejenak sambil menunggu hujan reda. Maklum, pas saya tiba hujan belum kunjung berhenti. Akhirnya saya diajak ke kediamannya di Kampung Bali. Suasananya betul-betul seperti lagi di Bali, bangunan, tanaman, pepohonan betul-betul serasa di Bali. 

Rumah Bli Toni sudah disulap menjadi penginapan umum wisatawan Taman Nasional Way Kambas. Namun menurutnya belum terlalu banyak yang menginap di penginapannya karena ini bukan jalan menuju Pusat Lektur Gajah (PLG) Way Kambas. Tapi persiapannya cukup bagus dan tempatnya Bli Toni sudah sangat siap jika sewaktu-waktu akses dari sana dibuka ke PLG Way Kambas.

Singkatnya, saya diantar lagi oleh Bli Toni ke PLG Way Kambas yaitu tempat dimana gajah-gajah dijinakkan dan dilatih untuk memiliki kebiasaan yang lebih baik dibandingkan gajah liar. Nah, di gerbang PLG Way Kambas saya bertemu dengan Pak Karsono yang akan menjadi guide saya selama di PLG. Pak Karsono adalah pawang gajah yang senior disana.

Setelah berbincang sedikit di gerbang masuk, saya pun berpisah dengan Bli Toni yang akan pergi ke tempat kerjanya (ternyata bukan di PLG tapi di tempat lainnya) dan saya lanjut dengan Pak Karsono masuk menuju gerbang PLG, sekitar 3 kilometer dari gerbang awal.

Pak Karsono berkisah dulu PLG Way Kambas selalu ramai, namun setelah adanya kebijakan baru menjadi lebih menantang. Dulu mobil bisa masuk sampai ke PLG namun saat ini hanya boleh sampai rest area dan dilanjut dengan shuttle berbayar Rp. 40.000,- Tidak hanya itu, beberapa aktivitas yang sempat menjadi unggulan seperti menunggangi gajah dan atraksi gajah, sudah diganti menjadi aktivitas wisata edukasi gajah.

Selama perjalanan pak Karsono begitu detail menjelaskan sejarah PLG dan sesekali menunjuk kearah tertentu sambil bercerita. Aktivitas di PLG kini lebih berpihak pada gajah, dan tidak ada kesan eksploitasi. Wisatawan bisa melihat gajah beraktivitas di habitatnya tanpa harus memaksa naik diatas punggung gajah.

Memandikan Gajah di Way Kambas, Saya dan Pak Karsono seperti sahabat

Oya, per orang kita perlu membayar tiket retribusi Rp. 5.000,- ya sehingga totalnya adalah 45 ribu. Namun aktivitas bersama gajah itu tersedia paket lainnya. Memandikan gajah, jungle track di area savana habitat gajah, berfoto bersama gajah dan memberi makan gajah diterapkan tarif mulai dari 20 ribu rupiah saja. Cukup terjangkau ya!

Di PLG Way Kambas juga banyak fasilitas pelengkap seperti Rumah Sakit Gajah tempat merawat gajah-gajah yang terkena penyakit, ada Visitor Center sebagai pusat informasi disana, kemudian ada juga penginapan untuk kita bermalam disana. Cukup lengkap bukan? meski energinya kini sudah sedikit menurun namun para pengelola terus berinovasi agar TNWK bisa kembali ramai.

Nah itulah cerita perjalanan saya dari Jakarta ke Way Kambas di Provinsi Lampung. Singkatnya inilah ongkos yang saya keluarkan untuk sampai kesana :

  • Grab dari kantor Tanah Abang = Rp. 14.000,-
  • Bus Primajasa-Merak = Rp. 48.000,-
  • Tiket kapal Merak-Bakauheni = Rp. 22.000,-
  • Upgrade ke Ruang Lesehan di kapal = Rp. 15.000,-
  • Tiket Damri Bakauheni-Way Jepara = Rp. 45.000,-
  • Retribusi TNWK = Rp. 5.000,-
  • Shuttle ke PLG Way Kambas (PP) = Rp. 40.000,-
  • TOTAL = Rp. 189.000,-
Tentunya ongkos tersebut belum termasuk makan dan pengeluaran pribadi lainnya ya, karena komponen tersebut sangat variatif tergantung kebutuhan masing-masing backpacker. Selamat berpetualang!



Comments